Sunrise Cantik si Gunung Batur

Alarm di HP bunyi, dan menandakan kalau sekarang tepat jam 1:00 dini hari WITA. Saya bergegas bangun untuk bersiap karena setengah jam lagi akan ada mobil yang menjemput saya di hotel. Untungnya semua keperluan saya sudah saya siapkan dua jam sebelumya, sebelum saya tertidur tanpa nyenyak karena khawatir bablas sampai pagi.

Ya, hari ini, Rabu, tanggal 17 Januari 2024, saya akan melakukan perjalanan ke puncak Gunung Batur berdua dengan teman saya yang bernama Agung Nugroho (@agoengnug). Awal rencana sih ada beberapa orang lagi yang mau ikut, namun karena ada keperluan lain akhirnya tinggal kami berdua saja yang tetap berkomitment untuk tetap jalan. Tanpa ada keraguan. Dan setelah siap, saya tinggalkan kamar sambil mencoba menghubungi Agung yang ternyata juga tidak kalah siapnya dengan saya. Setelah bertemu di lobi hotel, mobil penjemputpun tiba. Sejurus kemudian meluncurlah kendaraan roda empat itu menyusuri aspal kota Bali di tengah pagi buta menuju wliayah Kintamani di mana Gunung Batur tegak berdiri. Tidak ada yang bisa kami ceritakan selama perjalanan ini karena kami berdua dalam keadaan tidur pulas 😊.

Entah jam berapa ketika kami dingunkan oleh Pak Supir yang mengatakan kalau kita sudah sampai. Saya fikir sudah sampai lokasi. Ternyata yang dimaksud adalah sampai Kintamani di mana kami harus membayar biaya restribusi sebesar Rp. 20.000,- per orang. Dan setelah membayar, kami lanjutkan lagi perjalanan menuju base camp. Namun kali ini tanpa tidur pulas.

Jam 03:18 WITA akhirnya kami tiba di base camp yang ternyata adalah sebuah lahan parkir besar dengan dua buah warung di sisi kirinya. Diantara dua warung itu terdapat 4 buah toilet yang ternyata masih tutup dan baru akan buka nanti jam 7 pagi.

Sambil menunggu guide yang sedang dalam perjalanan, kami disuguhi teh manis panas yang merupakan compliment dari paket tracking Gunung Batur. Lumayan untuk menghangatkan badan kami yang diselimuti hawa dingin pada pagi hari itu. Kalau menurut perkiraan saya, mungkin suhu di base camp itu sekitar 18-20 derajat. Agung masih menggunakan jaketnya, sementara saya membiarkan kulit tubuh ini diterpa suhu dingin itu. Saya dan Agung sempat melihat sekelebat kilatan petir nun jauh di sana. Ada sedikit kekhawatiran kalau akan hujan. Apalagi tidak terlihat bintang sama sekali di langit Kintamani saat itu. Namun Pak Supir meyakini kami kalau cuaca akan cerah. Tentunya kami amini perkataan Pak Supir tadi.

Sekitar jam 4 kurang, guide yang kami tunggupun tiba. Dan tanpa menunggu lama, sang guide (yang ternyata masih anak muda berusia 19 tahun dengan nama panggilan Made) langsung menyiapkan head lamp dan tracking pole dan masing-masing sebotol air mineral ukuran 600ml untuk bekal kami selama perjalanan pergi dan pulang nanti. Setelah semuanya siap, segera kami mulai pendakian kami.

Bismillah…

Jam 04:17 kami mulai mengayun langkah mendaki perlahan demi perlahan menyusuri jalan beraspal nan gelap yang hanya diterangi oleh senter di kepala kami. Jalan ini beraspal karena dimaksudkan untuk kemudahan kendaraan bermotor yang akan ke Pura (ada beberapa Pura yang sempat kami lihat selama pendakian). Namun jalan aspal ini hanya dibuat sebagian alias tidak sampai atas. Sampai Pos 1 pun tidak.

Suhu masih saja dingin, tapi ternyata tidak membantu kami untuk membuat perjalanan kami lebih mudah. Dari mulai perjalanan di “titik nol” jalan sudah langsung menanjak tanpa bonus. Keringat kamipun mulai meluncur tanpa peduli lagi ada udara dingin yang berusaha menahan. Baru beberapa meter, kami harus beristirahat di sebuah Pura untuk sekedar mengatur nafas. Hanya sebentar untuk kemudian kami melanjutkan lagi perjalanan tersebut. Kali ini jalanan mulai didominasi oleh tanah. Agung sudah mulai membuka jaketnya. Dari mulut kami masih mengeluarkan asap ketika kami bernafas. Lebar jalan mulai mengecil dengan jurang yang berada di kanan dan kirinya. Kami lebih berhati-hati lagi di tengah kondisi jalan kami yang semakin gontai. “Kapal sudah miring ke kanan, Kapten!!!”

Jam 04:28 kami tiba di Pos 1 yang juga merupakan sebuah warung yang masih tutup (dan masih saja tutup ketika kami kembali dari puncak Gunung Batur).

Pos 1 Gunung Batur

Jam 04:33 kami melanjutkan perjalanan kembali. Elevasi masih saja tidak bersahabat dan terus menanjak tanpa ampun, tanpa bonus. Sementara suhu dingin tidak berkurang sama sekali. Mulut kamipun semakin sering mengelurkan asap karena intensitas nafas kami yang semakin menderu. Adapun mengenai kondisi jalan masih berupa tanah yang sedikit berpasir.

Pos 2!! Yeay… akhirnya kami tiba di Pos 2 tepat pada jam 05:05. Dan seperti di Pos 1, Pos 2 inipun merupakan sebua warung yang keberadaannya masih tutup. Kondisi juga masih gelap. Namun dari Pos 2 ini kami sudah bisa melihat pemandangan di bawah berupa lentera-lentara yang berasal dari perahu-perahu nelayan yang sedang bersandar di bibir Danau Batur yang tenang. Tidak ada pepohonan di Pos 2 ini sehingga kami bisa dengan jelas melihat kondisi, suasana, dan pemandangan di bawah. Bahkan langit cerah dengan ribuan bintangnya juga dapat kami lihat secara langsung. Subuh yang indah….

Pos 2 Gunung Batur

Tidak perlu berlama-lama, kami lanjutkan kembali perjalanan kami dengan harapan kami tiba di puncak sebelum matahari terbit. Perjalanan ke Pos 3 ini rasa-rasanya semakin sulit. Jalan tanah dengan beberapa akar pohon yang menyembul keluar menjadi pijakan sepatu-sepatu kami. Langkah kami juga semakin gontai. Kaos semakin basah. Tapi justru semakin membuat semangat kami mucul, sebab beberapa kali Made memompa adrenalin kami dengan mengatakan kalau Pos 3 semakin dekat. Dan itu artinya puncak Gunung Batur juga semakin dekat. Adduuhhh… bisa aja nih si Bli Made…

05:41 akhirnya kami berhasil tiba di Pos 3 yang merupakan pos terakhir sebelum summit ke puncak. Sayangnya saya lupa mengambil gambar atau foto Pos 3 ini. Duh maafkan ya pemirsah… Dan di Pos 3 ini juga terdapat warung (yang lagi-lagi dalam kondisi tutup) dengan sebuah gubuk berukuran kurang lebih 2×2 meter di sebelah kanannya. Di gubuk inilah kami putuskan untuk melakukan sholat subuh sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju puncak gemilang cahaya (eh itu mah lirik lagi Akademi Fantasi Indosiar atau AFI 😊).

Bismillah, semangat!!! Kami angkat lagi kaki dan semangat kami untuk terus melangkah melewati jalan bebatuan yang beberapa diantaranya cukup tajam. Dari belakang sudah mulai muncul lembayung kemerahan walau belum tegas, “Kita harus segera sampai puncak nih sebelum mataharinya muncul” pekik saya ke diri sendiri dan juga ke Agung. Tapi, bukannya semakin mempercepat langkah, justru disini kami banyak berhenti. Ini disebabkan pemandangan aduhai di belakang kami yang tidak ingin kami lewatkan untuk diabadikan. Terlihat jelas dari ketinggian ini Danau Batur dengan air yang berwarna biru dengan perahu-perahu kecil (terlihat kecil maksudnya) hampir di setiap pinggirnya. Belum lagi kabut putih terhampar indah persis diatas air danau itu. Semakin syahdu pemandangan di bawah sana, Sementara di belakangnya tampak Gunung Agung (3142 mdpl) berdiri gagah, seolah menjadi penjaga dua gunung kecil di depannya, yaitu Gunung Abang dan Gunung Troyan. Masya Allah….

Setelah puas mengabadikan diri kami dengan foto dan juga video, kami tuntaskan tujuan kami dengan mencapai puncak. Alhamdulillah… akhirnya kami bisa menjejakkan jari jemari kaki ini ini di puncak Gunung Batur 1717 mdpl tepat di jam 06.12. Hilang sudah semua lelah kami begitu kami berdiri menghadap keindahan Danau Batur, Gunung Agung, Gunung Abang dan Gunung Troyan. Seolah ingin membayar setiap peluh kami yang terus turun, samudera awanpun perlahan mulai mucul, selayaknya seorang tokoh utama yang tampil belakangan dalam sebuah fragmen televisi yang menjadi klimaks sebuah tontonan dan diakhiri dengan tepuk tangan seluruh penonton. Betul-betul sebuah sabda alam yang tidak akan bisa kami lupakan begitu saja.

Cakrawala menyapa kami. Semesta menyambut kami.

Lelah tergantikan dengan kekaguman. Peluh tergantikan dengan rasa syukur. Kami nikmati pagi “bersejarah” itu dengan semangkok mie instant rebus dan segelas kopi susu panas yang juga merupakan bagian dari pelayanan paket ke Gunung Batur ini. Dan tentu saja sesi foto sendiri maupun berdua kami lakukan dengan berbagai pose dan posisi. Duh, biarin deh dibilang norak-norak bergembira. Kapan lagi bisa di Gunung Batur yang cantik ini? Lagi pula semua wisatawan yang ada di sana juga melakukan hal yang sama koq, hihihihi… Eh iya, ternyata ketika kami sampai di puncak Batur, sudah ada beberapa pendaki yang juga sudah sampai duluan lho sebelum kami. Padahal, selama perjalanan dari base camp sampai summit ini, relatif kami hanya bertemu dengan dua rombongan saja. Satu yang sempat mendahului kami, satu rombongan lagi yang berhasil kami lewati. Dan ternyata, mereka yang tiba duluan itu menggunakan trek yang berbeda. Oh pantesan…

Sebagai info, puncak Gunung Batur ini ada tiga lho: Batur I, Batur II dan Batur III. Dan setelah saya cari-cari infonya di paman Gugel, Gunung Batur ini ternyata gunung berapi aktif. Pantesan saya lihat di salah satu kawah, muncul asap yang merupakan tanda bahwa ini gunung yang masih aktif. Kecil-kecil cabe rawit juga nih 😊

Setelah semua ritual summit kami jalani, tiba saatnya kami harus kembali turun karena berpacu dengan waktu. Tepat di jam 07.10, kami mulai menapaki jalan turun. Dan kali ini dengan sediki istirahat (kalau tidak mau dibilang tanpa istirahat). Karena medan yang licin dan juga berpasir di beberapa tempat, kami sempat beberapa kali terpeleset walau tidak sampai jatuh. Jujur saja, kondisi kaki saya sudah mulai gemetaran. Namun karena harus mengejar waktu maka semua itu tidak kami pedulikan.

Singkat cerita, jam 08.20 kami tiba dengan selamat di base camp lagi. Alhamdulillah… Dan tanpa berlama-lama, segera kami tuntaskan kewajiban kami berupa penyelesaian pembayaran paket Batur untuk seterusnya kembali masuk ke mobil yang sama dengan yang mengantar kami dini hari tadi untuk menuju hotel.

Jam 09:00 mobil bergerak pulang dan beberapa menit kemudian kami kembali tertidur pulas dengan mimpi indah mengenai Gunung Batur sampai tiba di hotel lagi.

Semoga apa yang kami tulis ini bisa memberikan gambaran serta mempertebal keyakinan para pembaca untuk tidak ragu menyempatkan diri mendaki Gunung Batur yang pasti menjanjikan pemandangan indah.

Terima kasih Mas Agung (@agoengnug) sudah mau menjadi partner perjalanan ke Gunung Batur ini. Semoga kita bisa kembali berpetualang bersama di kesempatan yang lain.

Salam

Depok, 18 Januari 2024

Duet Takjil Nikmat Ramadhan

Alhamdulillah, saya bisa menikmat lagi karunia Allah berupa usia panjang yang sehat sehingga bisa lagi bertemu dengan bulan Ramadhan tahun ini.

Dan kalau bicara bulan Ramadhan, tentu saja tidak lepas dari beberapa aktifitas rutin seperti tarawih, tilawah Al Quran dan juga takjil buka puasa. Nah yang terakhir ini nih yang merasuk fikiran saya dalam beberapa tahun belakangan. Pertanyaannya: koq baru ditulis sekarang? Wah itu masalah lain: masalah malas nulis, hahaha..

Back ke pemikiran saya yang sering bertanya dalam hati, sejak kapan ya gorengan dan lontong itu jadi semacam menu wajib buka puasa? Pertanyaan ini muncul karena saya melihat sendiri banyak sekali pedagang takjil yang menyajikan kedua makanan itu. Setidaknya di wilayah tempat saya tinggal. Pun demikian dengan para pemburu takjil. Yang saya lihat mayoritas yang mereka beli itu ya kedua penganan itu. Kelihatan sih dari balik kantong plastik bening yang mereka jinjing. Tua, muda, pria, wanita, naik motor, pakai mobil, jalan kaki, rata-rata yang dibeli gorengan dan lontong.

Kalau dulu, saat saya kecil, saat masih lucu-lucunya, yang selalu identik dengan buka puasa itu ya kolak pisang. Kalaupun ada selingannya ya timun suri yang dijadikan campuran minuman bersama dengan sirup manis. Melenceng dikit lagi yang kerupuk gendar disiram sambal kacang. Eh tahu kan ya kerupuk gendar? 😊

Nah beberapa tahun belakangan ini betul-betul berubah drastis. Bukan lagi ber-evolusi, tapi langsung revolusi. Makanya sering ada jargon yang tersebar kalau bulan Ramadhan adalah surganya pecinta gorengan dan lontong. Dan hebatnya lagi, mayoritas pedagang takjil di wilayah saya itu ya jualannya gorengan dan lontong. Mungkin variannya aja yang saling berbeda. Ada bakwan, tahu isi, tahu polos, tempe mendoan, pastel, risol dan selingannya kue cucur 😊.  Kalau lontong biasanya cuma dua varian: isi sayuran atau isi oncom. Ya ada sih yang jual selain gorengan, tapi sekali lagi mayoritas yang tersaji menggoda diatas meja-meja jualan ya gorengan dan lontong.

Jujur saja, saya termasuk salah satu dari sekian banyak pelanggan pemburu gorengan dan lontong di bulan Ramadhan. Entah karena memang suka atau karena memang selalu tergoda setiap harinya untuk beli, tapi yang pasti gorengan dan lontong itu paling mudah dicari dan didapatkan. Saya fikir ini terjadi sama saya dan keluarga saja. Ternyata enggak tuh. Kalau saya lihat menu takjil yang disediakan di musholla tempat saya tinggal, hampir selalu gorengan dan lontong. Masya Allah walhamdulillah… 😊. Jadi ini memang bukti kalau dimana-mana gorengan dan lontong sudah menjadi “menu wajib” buka puasa.

Nyentil dikit ke politik ya, gak papa kan? Hehehe…

Para penjual dan pemburu gorengan ini tampaknya tidak terpengaruh dengan kelangkaan minyak goreng yang saat ini melanda negeri tercinta kita. Isu dan kenyataan langkanya minyak goreng (walau belakangan ini muncul dengan harga yang sangat tinggi) ternyata tidak berpengaruh pada pada penjual dan pemburu gorengan itu. Buktinya adalah gorengan dan lontong selalu ada setiap harinya dan dijual di mana-mana. Dan setiap harinya juga duet nikmat itu habis dibeli pecintanya. Walaupun harganya juga ikut merangkak naik, tapi sama sekali tidak mengurangi antusias penjual dan pembeli gorengan.

Dari ini saya merasa Allah itu adil dan selalu memberikan kemudahan rezeki bagi setiap umatnya, khususnya di bulan Ramadhan ini. Walaupun harga minyak tinggi, tetap saja para penjual bisa menjajakan dagangannya. Yang tadinya saya fikir daya beli masyarakat ikut berkurang, ternyata tidak sama sekali. Tetap saja aktifitas jual beli di sore hari tetap ramai. Masya Allah… memang cara Tuhan memberikan rezeki itu sering tidak terduga-duga ya..

Sudah ah, jangan terlalu jauh nyentilnya. Kita balik lagi ke pemikiran saya yang awal.

Jadi, sejak kapan sih lontong dan gorengan itu jadi tradisi dan menu wajib buka puasa?

Ada yang tahu? 😊

Pejuang Motor Subuh

Ini tahun ketiga pandemi virus corona “memaksa” saya untuk bekerja dari rumah. Sebuah “paksaan” yang harus disyukuri, Alhamdulillah… Betapa tidak? Kerja di rumah bagi saya itu sangat menyenangkan. Saya tidak harus berjibaku pagi untuk mengejar KRL dan berdiri berdesakan diantara ketiak para penumpang (eh koq kaya syair lagu?). Pun saat pulangnya nanti, tidak harus lelah berdiri dari Stasiun Gondangdia sampai Stasiun Depok. Malah dengan WFH, setiap pagi saya mempunyai banyak kesempatan untuk berolah raga. Kurang enak apa lagi? Hehehe.. Eh tapi maaf ya, saya tidak bermaksud membuat iri sebagian pembaca. Ini cuma berbagi hal-hal positif selama WFH.

Tapi sekarang sudah berubah. Kantor tempat saya bekerja mulai merubah aturan masuk kantor. Karyawan diwajibkan masuk setidaknya dua kali seminggu. Terserah pengaturan dari masing-masing group atau divisinya. Dan mau tidak mau kehidupan pagi dan sore saya juga ikut kembali ke masa sebelum pandemi. Namun bedanya kali ini saya tidak berani naik KRL dengan alasan masih khawatir dengan penyebaran virus akibat berdesakan di gerbong kereta. Jadilah saya mulai petulangan ke kantor dengan naik motor.

Setelah sholat Subuh saya memacu perlahan sepeda motor melintasi jalanan pagi yang masih gelap. Kecepatan motor saya tidak lebih dari 60 km per jam. Mungkin rata-rata hanya 40 atau 50 km per jam saja. Itu karena saya takut untuk memacu kendaraan dengan cepat. Mungkin faktor usia juga yang membuat saya jauh lebih hati-hati (menyamarkan kata-kata penakut 😀 ). Tapi berbeda dengan kendaraan lain. Saya merasakan dan melihat roda-roda motor mereka berputar jauh lebih cepat dari yang saya punya. Saya lebih banyak dilewati oleh kendaraan lain daripada saya yang melewati mereka. Dalam hati saya: Duh, pada ngebutngebut apa gak takut jatuh?

Tapi memang ya, kalau saya perhatikan teman-teman kita para pejuang subuh itu lihai-lihai dalam mengendari motornya. Mungkin karena sudah terbiasa atau memang karena punya skill pembalap? Tidak tahu, tapi yang pasti mereka sangat lincah meliuk-liuk dan saling menyelinap diantara kendaraan lain. TIdak hanya kaum pria. Sesekali saya lihat para wanita tangguh (yang tentu saja terlihat dari pakaiannya) juga lincah memacu kendaraannya dengan kecepatan cukup tinggi. Terkadang saya merasa malu karena saya tidak mempunyai nyali sebesar wanita itu. Tapi tidak apa, karena saya berharap selamat sampai tujuan dan selamat kembali pulang ke rumah. Semoga teman-teman pejuang subuh itu juga senantiasa diberikan keselamatan oleh Allah setiap harinya, aamiin..

Saya masih menikmati perjalanan pagi ketika terang langit sudah mulai kelihatan. Dari arah kanan saya lewat sepasang suami dan Istri yang berboncengan melewati motor saya. Ketika jarak mereka kurang lebih 10 meter di depan saya, wangi parfum yang saya yakin berasal dari wanita yang dibonceng suaminya di depan itu menyelinap masuk ke hidung saya diantara rapatnya helm dan masker. Wangi sekali… Lagi-lagi potret pejuang motor subuh yang rela harus berhias diri di pagi buta untuk kemudian membiarkan aromanya terbang terbawa angin di jalanan demi untuk mencapai lokasi kerjanya sepagi mungkin. Semoga segala lelah dan usahanya Allah balas dengan limpahan rezeki yang barokah, aamiin…

Bulir Singkat Persahabatan

Elfa terengah-engah menapaki tangga berjalan yang ada di terminal 2F Bandara Udara Soekarno – Hatta. Dia tampak terburu-buru. Tas ranselnya sudah hanya separoh yang tersangkut di lengannya. Sementara lengan yang satunya lagi tampak menjinjing sebuah jaket yang tidak dia kenakan sama sekali. Untungnya pagi itu masih belum terlalu banyak pengunjung bandara yang hilir mudik. Sekilas Elfa melirik jam yang ada di tangannya yang putih. Jam 6.15 pagi. Masih ada 15 menit untuk sampai ke pintu boarding pass. Dan Elfa semakin mempercepat langkah kakinya.

Alhamdulillah… Dia bersyukur dari dalam hati karena masih sempat masuk ke pesawat walaupun menjadi penumpang terakhir yang dinanti. Setelah meletakkan tas ranselnya yang diatas kabin, Elfa segera menghempaskan dirinya pada kursi yang terletak persis di samping jendela. Segera saja dia buka penutup jendelanya dan membiarkan sinar mentari yang mulai menerangi semesta masuk menerpa wajahnya. Nafasnya masih sedikit terengah-engah. Untung saja kondisi ruangan di bandara dan di dalam pesawat ini cukup dingin. Kalau tidak, butiran-butiran keringat pasti akan luluh lantah meluncur di sekujur tubuhnya.

Pesawat mulai lepas landas. Elfa memejamkan matanya sambil hatinya terus berdoa kepada Allah agar senantiasa diberikan keselamatan selama perjalanan ke Medan sampai nanti kembali ke rumahnya lagi. Dia sangat menyadari bahwa inilah moment paling rawan atau krusial bagi penerbangan. Ini yang biasa dikenal dengan fase Critical Eleven. Elfa hanya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Matanya terus terpejam dan mengindahkan pemandangan indah di bawah sana lautan lepas dengan pulau-pulau yang tampak terlihat kecil. Dirinya baru berani membuka matanya setelah mendengan pengumuman dari dalam pesawat kalau kondisi sudah normal dan tanda sabuk pengaman boleh dilepas. Tapi Elfa tetap membiarkan sabuk itu melingkari perutnya.

Elfa melepas pandangan keluar jendela. Sekilas terlihat beberapa awan putih yang seperti kapas bertebaran di langit. Fikirannya kembali ke kejadian beberapa minggu sebelum ini. Dia dan beberapa orang temannya yang menjadi panita program Be Happy diminta untuk memberikan training kepada seluruh agent Gerai yang tersebar di seluruh Indonesia. Kebetulan Elfa mendapat penugasan ke Medan. Tadinya dia menolak karena masih takut naik pesawat. Elfa sempat meminta untuk ditugaskan saja ke Cirebon yang akses kesananya menggunakan kereta. Tapi ternyata tidak bisa karena tiket pesawat dan penginapan sudah disiapkan oleh sekretaris di kantor. Mau tidak mau Elfa menerima walaupun dengan berat. Bagi Elfa, ini adalah kali kedua dirinya pergi menggunakan pesawat.

Masih ingat juga dalam ingatannya bagaimana tiba-tiba dirinya dipanggil oleh Managernya saat itu, Mba Irma untuk ikut dalam rapat dan pertemuan yang dia sendiri tidak tahu itu pertemuan apa? Namun karena itu adalah permintaan atasan maka dirinya hanya bisa ikut.

Meeting apa sih Mba Ir?” tanya Elfa penasaran.

“Program besar. Program untuk seluruh Gerai se Indonesia Raya” sahut Mba Irma yang berjalan di depan Elfa tanpa menoleh sedikitpun.

Elfa semakin penasaran. Apalagi setelah tahu pertemuan itu dilakukan bukan di tempat biasanya. Melainkan di ruangan Group Head yang memang di dalamnya ada sebuah ruang meeting kecil yang bisa menampung sampai 15 orang. Ruangan yang selama ini belum pernah sama sekali dia masuki. Maklum saja, itu adalah ruang khusus yang memang tidak sembarangan orang masuk.

Elfa melangkah masuk. Sudah ada beberapa manager yang nampak duduk sambil berdiskusi. Ada juga satu orang staff yang nampak duduk sendirian yang sangat Elfa kenal. Arief! Elfa senang bukan kepalang karena ada teman baiknya disitu yang berarti dia punya teman sesama staff yang hadir di ruangan meeting itu. Elfa segera menghampiri Arief dan langsung meninju lengan Arief begitu dirinya duduk di sampingnya. Namun mereka tidak berbicara karena masih sungkan mengingat hanya mereka berdua yang staff, dan sisanya adalah Manager dan Division Head. Sambil menunggu Pak Bayu hadir, Elfa memperhatikan ruangan itu. Ruangan kecil yang tampak tertata rapi dengan meja besar dan panjang berada ditengah-tengahnya. Di sudut depan, persis disamping white board terdapat bunga anggrek bulan berwarna ungu yang nampak sangat cantik. Belum habis Elfa mengagumi ruangan itu, Pak Bayu masuk ruangan dan langsung memberikan salam.

“Assalamu’alaikum” sapa Pak Bayu sambil melempar semyum manisnya. Dirinya yang tinggi dengan jaket merah membalut tubuhnya semakin membuat gagah orang nomor satu di Group Customer Service itu.
Semua yang ada di ruangan itu menjawab kompak.

“Wa’alalikum salam”

Pak Bayu langsung duduk di kursi paling ujung yang menghadap ke semua peserta pertemuan.

“Saya tidak berlama-lama ya. Saya cuma ingin menyampaikan bahwa perusahaan sudah setuju untuk program Be Happy ini. Mungkin sebagian belum tahu apa itu program Be Happy. Saya jelaskan sediikt ya.”

Pak Bayu lalu menerangkan maksud program Be Happy yang tadi disampaikannya. Ternyata ini adalah program pemberian pelatihan Service Excellent kepada seluruh agent Gerai yang tujuannya adalah memberikan kepuasan kepada semua, tidak hanya kepada pelanggan tapi kebahagiaan ke para agent itu sendiri. Intinya, kebahagiaan itu harus dirasakan semua orang dan dimulai dari para Agent Customer Service agar bisa menularkan itu ke para pelanggan agar nantinya tercipta Customer Experience yang bagus yang dirasakan oleh para pelanggan. Program ini merupakan bagian dari program besar perusahaan yang bertema #bisabangkitbersama.

Semua tampak mendengarkan dengan antusias. Sampai akhirnya tiba giliran Mba Irma untuk menyampaikah hal yang bersifat tekhnis. Tentang apa yang harus disiapkan, tentang apa yang harus dikerjakan. Pembagian tugas juga dipaparkan. Ada yang bertugas memberikan pelatihan. Ada yang bertugas observasi dan ada yang bertugas mengurus semua keperluan program.

Elfa dan Arief mendapat tugas memberikan pelatihan. Dasar penunjukannya adalah untuk regenerasi dan kemampuan mereka berdua yang dilihat dari keseharian mereka. Dan memang harus diakui kalau Elfa dan Arief ini memang termasuk dalam kategori karyawan yang cukup kreatif dan energik. Tidak ada sanggahan dan semua menerima tugas dengan suka cita. Arief nantinya akan ditugaskan ke Semarang.

Hari-hari berikutnya dilalui Elfa dengan pembekalan pelatihan. Ini perlu dilakukan agar nantinya pelatihan ke Gerai bisa berjalan baik dan menyenangkan. Sampai tiba waktunya semua tim yang bertugas dilepas oleh Pak Bayu dan Mba Irma untuk bertugas di masing-masing daerah yang sudah ditetapkan.

Elfa tersentak. Dirinya terkejut tatkala sebuah sentuhan menyadarkan lamunannya. Ternyata seorang pramugari cantik menawarkan makanan dan minuman. Elfa menerima makanannya dan meminta jus apel sebagai minumannya. Sial baginya. Minuman itu tumpah ke penumpang yang duduk disampingnya. Seorang pemuda.

“Ya Allah.. aduh maaf Mas. Saya gak sengaja.” Elfa memelas meminta maaf karena kecerobohannya.

“Hahaha.. gak papa Mba. Tumpah sedikit koq,” senyum manis sang pemuda menenangkan Elfa. Dan Elfa semakin merasa bersalah.

Bukannya membersihkan t-shirtnya yang basah, si pemuda tadi malah meminta kembali segelas jus apel ke pramugari untuk diberkan ke Elfa sebagai pengganti jus yang tadi tumpah.

“Aduh mas, saya jadi tambah malu dan merasa bersalah. Sekali lagi maafkan saya ya Mas,” pinta Elfa dengan rasa bersalah yang belum pudar ditambah rasa malu.

“Sudah mba gak papa,” respon si pemuda tadi masih dengan senyum manisnya.

“Maaf.. maaf..” Elfa kembali meminta maaf.

“Minta maaf melulu kaya lebaran, Mba, hahaha…” si pemuda kembali tertawa.

“Daripada minta maaf, mendingan kenalan. Kenalin, sama saya Harfan. Asal Jakarta” si pemuda tadi langsung menyodorkan tangganya.

Elfa tampak ragu. Bukan karena sungkan berkenalan, tapi dirinya masih diliputi rasa malu.

“Kenapa? Gak mau kenalan? Takut diminta ganti rugi ya?” goda Harfan.

“Eh bukan. Tapi saya masih malu nih.” Pipi Elfa masih memerah. Akhirnya disambutnya ajakan Harfan tadi.

“Elfa..” sambut Elfa menyambut uluran tangan Harfan.

“Ada kerjaan di Medan, Fa? Eh gak papa ya aku panggil nama aja. Soalnya kayanya kita seumuran walau kamu keliatan lebih tua, hahaha..” Harfan lagi-lagi tertawa.

“Rusuh, untung masih merasa bersalah nih, kalau gak..?

“Kalau gak kenapa?” tanya Harfan jahil

“Gak papa.” Kali ini Elfa yang jadi salah tingkah.

“Iya, panggil aja aku Elfa, gak usah pakai Mba. Kaya tukang sayur di depan rumah.” Elfa kali ini coba tersenyum. Harfan juga tersenyum.

“Ada kerjaan di Medan Fa? Atau asli orang Medan?” tanya Harfan tanpa basa-basi.

“Iya ada kerjaan dua hari di Medan. Kamu sendiri?”

“Sama”

Akhirnya dua orang itu terlibat pembicaraan yang tampak mengasyikkan. Gelak tawa sering terdengar di sela-sela perbincangan mereka. Sampai mereka tidak sadar bawah sebentar lagi pesawat akan mendarat.

“Oh ya Fa, sebelum lupa, ini aku ada kenang-kenangan perkenalan kita. Buku buat kamu. Buku yang aku tulis sendiri.” Harfan langsung memberikan sebuah buku yang masih terbungkus plastik yang diambil dari tas kecilnya yang sejak tadi berada disampingnya.

“Kamu penulis, Fan?”

“Bukan, tukang cimol”

“Rusuh!” Lagi-lagi mereka tertawa. Elfa menerima buku itu. Dilihat judulnya: Fun Training For Service Excellence.

“Jangan dilihat judulnya pakai bahasa Inggris. Isinya bahasa Indonesia koq. Aku tahu kamu gak bisa bahasa Inggris”

Kali ini Elfa tidak berkata apa-apa melainkan langsung memukul lengan Harfan dengan buku yang baru saja diterima. Jelas saja membuat Harfan meringis. Namun setelah itu mereka kembali tertawa bersama.

“Perlu aku tanda-tangani gak?”

“Huuuu… kaya penulis terkenal aja,” ledek Elfa.

“Ya udah nih kalau kamu maksa. Sekalian nomor HP ya.” Elfa menyerahkan kembali buku itu ke Harfan

“Ok Jeng. Tapi nanti aku minta nomor HP kamu juga ya.”

“Siap boss.” Elfa lalu mengambil dompetnya dan menyerahkan kartu namanya.

“Hebat juga OB sekarang punya kartu nama,” goda Harfan lagi. Dan Elfa juga lagi-lagi meninju lengan teman barunya itu sebagaimana kebiasaan dia ke teman-teman akrabnya.

Roda pesawat berdecit ketika sukses menyentuh aspal. Pelan-pelan moncong pesawat turun untuk kemudian menurunkan kecepatannya sampai akhirnya pesawat itu betul-betul berhenti. Elfa dan Harfan bersiap-siap turun. Harfan sempat membantu Elfa dengan mengambilkan tas ranselnya dari kabin. Sejurus kemudian Harfan mengambil travel bagnya sendiri. Mereka berpisah ketika sudah berada di luar bandara. Harfan menggunakan taksi, sementara Elfa mendapat penjemputan dari rekan-rekannya di Regional Medan. Walaupun Elfa berkali-kali menawarkan untuk ikut bersamanya, tapi Harfan tetap menolak. Sampai akhirnya taksi yang membawa Harfan hilang dari pandangan Elfa. Elfa pun akhirnya diantar sampai hotel tempatnya menginap. Pelatihan baru akan dimulai esok hari. Hari ini Elfa diberikan kesempatan untuk menyiapkan segala keperluan pelatihan sambil beristirahat. Tidak lupa buku dari Harfan dibacanya. Hmm.. menarik dan bagus nih buku, dalam hati Elfa.

Pelatihan di Medan pada hari pertama ini sukses dijalankan oleh Elfa. Semua peserta terlihat sangat menikmati pelatihan itu. Bahkan Head of Regional yang ikut hadir disana sangat menyanjung pelatihan yang diberikan Elfa. Sesekali mereka menggoda Elfa untuk pindah ke Medan dan jadi karyawan di sana. Elfa hanya tertawa mendengar candaan itu. Thanks Fan, buku lo berguna banget, bathinnya.

Setelah menerima jamuan makan malam Elfa diantar kembali ke Hotel. Dirinya cukup lelah karena hampir seharian berdiri memberikan pelatihan. Walaupun lelah, dirinya gembira bukan kepalang. Pengalaman pertamanya ini sungguh berkesan.

Elfa melemparkan dirinya ke tempat tidur sambil dan kemudian menyalakan tv. Dipilihnya saluran hiburan yang justru tidak menghibur sama sekali. Kemudian Elfa membuka harian sore yang tadi diambilnya di depan pintu kamar Hotel. Dan disuatu halaman, dirinya terkejut karena didapatinya foto Harfan terpampang jelas. Tapi beritanya sangat mengejutkan. Seorang penulis muda tewas kecelakaan lalu lintas. Elfa membaca berita itu dan tidak menyadari air matanya turun membasahi lembaran koran yang sedang dibacanya.

Ya Allah, begitu singkat Engkau mempertemukan hamba dengan orang baik. Dan begitu hebatnya caramu ya Allah dengan memberikan kemudahan bagi hamba untuk memberikan sesutu yang baik kepada orang lain melalui orang lain juga. Melalui Harfan. Melalui buku yang diberikan Harfan.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiu’uun… Turut berduka untuk kamu Harfan. Semoga khusnul khotimah dan Allah jadikan surga sebagai tempat kembali yang kekal.

Air mata Elfa kembali jatuh menetes di kedua pipinya.

-SELESAI-

Bintang Senja (Part 1)

Teman Baru

Oh, serasa, berbunga hatiku
Pertama kujabat ramah tanganmu
Lalu senyummu menggoyahkan
Imanku. dan jiwaku

(Jumpa Pertama – Chrisye – 1988)

     “Jambu… ayo bangun, sudah azan Subuh tuh. Siap-siap juga, katanya hari ini mau ada wawancara kerjaan. Ayo buruan, ke musholla, sholat sekalian jangan lupa minta sama Allah biar dimudahin wawancaranya,” semangat seorang Ibu membangunkan putra kesayangannya di pagi yang dingin itu, sambil sesekali membereskan beberapa pakaian yang masih berserakan di lantai. Diangkatnya dan kemudian dikepitnya di antara lengan dan badannya. Tidak sampai di situ, Bu Ati kemudian lanjut membuka tirai bermotif kotak-kotak untuk mempersilakan rintik hujan menampakkan semua butiran beningnya agar bisa terlihat dari kamar berukuran tiga kali tiga itu.
     Pagi itu bumi masih basah karena rahmat Tuhan yang berupa hujan datang sejak jam tiga pagi. Cukup lebat dan masih belum berhenti sampai saat ini walaupun mungkin ini tinggal sisa-sisanya saja. Namun tetap saja membuat Jambu masih enggan bangun dari tidurnya karena hawa sejuk itu telah berhasil menyelimuti seisi ruang kamarnya.
     “Eh ayo… ingat lho, dua rakaat sebelum Subuh itu lebih baik dari dunia dan seisinya,” Bu Ati terus berusaha membangunkan Jambu yang nampak sudah setengah terbangun dari tidurnya.
     “Iya Bu… ini juga udah bangun,” timpal Jambu sambil berusaha duduk untuk menguatkan posisinya yang masih terserang kantuk berat dengan kedua matanya yang masih setengah terpejam dan setengah terbuka. Tapi ini tidak berlangsung lama. Jambu segera bangkit dan menuju kamar mandi yang berada di luar kamarnya untuk mengambil wudhu dan kemudian bergegas menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim untuk sholat berjamaah di musholla yang hanya berjarak delapan  puluh langkah dari rumahnya. Gerimis pun masih semangat menerjang bumi.

***

     Jambu sudah duduk di atas sofa sebuah kantor yang cukup besar. Tidak hanya kantornya, tapi sofanya juga memang sangat besar. Akan sangat membuat sumpek kamarnya kalau sofa itu ditempatkan di dalamnya. Jambu mencoba memperhatikan sekelilingnya. Ada sebuah foto besar bergambar sebuah menara telekomunikasi menjulang ke atas yang diletakkan di belakang meja resepsionis. Teknik pengambilan foto dengan low angel itu semakin menegaskan kekuatan sinyal telekomunikasi yang saat ini bisa menghubungkan orang dengan orang lainnya walaupun berjarak ribuan kilometer. Di sebelah kanan meja resepsionis tedapat satu dinding yang berisi foto-foto mengenai sejarah perusahaan itu. Terlihat dari hasil cetakan foto yang agak terlihat buram ditambah dengan para tokoh di dalam foto itu dengan tampilan menyerupai tahun tujuh puluhan. Ada yang sedang mengamati menara, ada yang sedang menerima plakat, dan ada juga foto-foto peluncuran produk. Di bawahnya diletakkan sebuah meja console yang memajang beragam plakat akrilik, tropi dan beberapa penghargaan. Ini menunjukkan bahwa perusahaan ini adalah salah satu perusahaan besar yang dimiliki negeri ini.
     Di sebelah kiri terdapat satu pintu kaca yang menghubungkan antara ruang tamu dengan ruang karyawan. Jambu bisa melihat sekilas kesibukan di dalamnya yang merupakan lantai satu dari dua lantai yang ada di lokasi tersebut. Lokasi perusahaan ini sangat luas sehingga semua gedung yang ada hanya didirikan dua lantai. Yang Jambu datangi ini adalah gedung yang khusus untuk pelayanan pelanggan melalui sambungan telepon yang letaknya ada di sebelah utara. Adapun untuk lokasi layanan tatap muka berada di sebelah selatan yang lokasinya cukup jauh dari lokasi Jambu berada saat ini. Terdapat parkir luas khusus untuk pelanggan. Bangunan itu berbeda dari bangunan yang ada di sekitarnya. Terlihat paling megah. Mungkin karena bangunan itu juga diperuntukkan untuk mempresentasikan kebesaran nama peruhaan tersebut.
     Jambu bersyukur bisa mendapat kesempatan wawancara di perusahaan telekomunikasi ini walaupun hanya sebagai karyawan lepas atau outsourching. Baginya tidak masalah, apalagi ini dilakukan di sela-sela waktunya menyusun skripsi.
     Belum habis dia memperhatikan setiap sudut ruangan, masuk dua orang pria berpakain rapi. Dari usianya Jambu bisa menebak kalau mereka tidak tarpaut jauh usianya dengan dirinya. Kedua orang itu tampak bertanya kepada resepsionis, dan kemudian menuju sofa yang sama yang diduduki Jambu. Mereka duduk tidak jauh dari Jambu. Yang satu tampak hanya diam saja. Sementara yang satu lagi, yang tingginya hampir mencapai dua meter tampak mengeluarkan koran dari tasnya. Sejurus kemudian tampak asyik membolak-balik setiap lembar tanpa sedikit pun dibacanya. Seperti tidak puas dengan apa yang dilihatnya, dia kembali melipat koran itu dan meletakkannya di pahanya.
      “Hmm.. maaf, boleh pinjam korannya?” minta Jambu dengan sopan ke anak muda yang tinggi itu.
      “Oh boleh.. silahkan.” Pemuda itu kemudian menyerahkan korannya sambil melempar senyum. Jambu lantas segera mengambilnya. Dan sama seperti kelakuan pemuda tinggi itu, tidak ada satu pun yang Jambu baca. Dia hanya menatap setiap halaman demi halaman untuk kemudian melipatnya kembali.
      “Terima kasih. Berita olah raganya gak banyak hari ini.” Jambu menyerahkan koran itu kembali ke yang punya sambil senyum.
      “Oh ya, kenalin, gue Jambu. Jangan tanya kenapa namanya gitu ya,” sambil tersenyum Jambu mengulurkan tangannya ke arah si pemuda tinggi.
      “Gue Reo. Lagi nunggu wawancara juga ya?” sambut Reo yang juga tidak kalah ramahnya dengan Jambu.
      “Iya, Alhamdulillah… Kalian berdua juga mau wawancara? Kalau Mas ini siapa namanya, Mas?” Jambu langsung mengalihkan perkenalannya ke arah pemuda yang satunya lagi.
      “Oh halo. Nama saya Aan. Iya, saya mau wawancara juga. Tadi juga baru kenal sama Reo waktu sama-sama tanya ruangan wawancara,” sambut Aan yang tidak kalah ramahnya. Tidak butuh waktu lama bagi mereka bertiga untuk kemudian terlibat obrolan santai namun cair selayaknya orang yang baru kenal.
      Obrolan terhenti ketika datang dua wanita yang tampak cantik menghampiri mereka bertiga. Yang satu tampak seperti asisten karena membawa beberapa map dan berjalan serta berdiri agak di belakang. Yang satu lagi tampak seperti atasannya. Dengan mengenakan rok panjang hampir menutupi seluruh kakinya, serta rambut sebahu yang tertata rapi, terlihat kecantikan yang memancar. Jambu tidak bisa melepaskan pandangan indah itu.
      “Sudah siap untuk wawancara kan? Nanti kami akan panggil satu persatu ya. Tapi sebelumnya tolong isi dulu formulir ini. Nanti ketika wawancara, serahkan semua lembaran ini ke orang yang akan mewawancarai kalian.” Wanita cantik itu masih terus berdiri sambil memberikan informasi mengenai apa yang harus dilakukan untuk sesi wawancara nanti.
      “Oh ya, nama saya Sekar. Dan ini Amel. Kalau ada yang ingin ditanyakan, cari kami saja ya. Bisa minta tolong ke resepsionis, nanti dia yang akan memanggil saya keluar untuk menemui kalian bertiga.” Oh jadi nama si cantik itu Sekar. Sesuai dengan namanya, batin Jambu dalam hati, sambil berharap Sekar akan jadi orang yang akan mewawancarai dirinya.
      Tapi ternyata harapannya tidak terkabul. Sekar hanya bertugas untuk melakukan seleksi para calon karyawan. Sedangkan yang melakukan wawancara adalah para manager. Sialnya bagi Jambu, dia mendapati dirinya diwawancara oleh seorang manager yang cukup galak. Irni namanya. Hampir sepanjang wawancara tersebut, hanya kritikan yang keluar dari mulut Irni terhadap apa yang Jambu jawab.
      “Gimana Re, An, sukses wawacaranya?” tanya Jambu ke kedua rekan yang baru dikenalnya itu.
      “Alhamdulillah gue yang wawancara cowok. Pak Usman namanya. Orangnya sih baik, Mudah-mudahan sih lolos ya.” Reo cukup santai menceritakan sesi wawancaranya.
      “Kalau loe An?” tanya Jambu ke Aan.
      “Aku kebetulan cewek yang wawancara. Namanya Thiara. Sama dengan Reo, orangnya baik.” Timpal Aan yang masih kaku dalam berkomunikasi.
      “Wah kalau gitu gue yang apes ya.. galak banget yang wawancara gue. Kayanya tuh orang pagi-pagi sarapannya singa, haduuhh…” gerutu Jambu.
      “Cewek atau cowok?” tanya Reo.
      “Cewek Re.” Reo dan Aan spontan tertawa. Mau tidak mau Jambu ikut tertawa.

***

Bintang Senja (Part 2)

FUN FACTOR

Kuberharap dia menyapa
Mengajakku tertawa bersama
Menyibak duka di dalam hati ini
Menyambut pertemuan dengannya

(Keraguan – Trie Utami – 1987)

      Jambu dan Reo akhirnya bisa diterima menjadi karyawan tidak tetap di perusahaan telekomunikasi tersebut sebagai seorang call center. Sedangkan Aan ditempatkan sebagai seorang customer service Walk-In yang tugasnya berhadapan langsung dengan pelanggan. Namun dalam prosesnya nanti mereka bisa bertukar peran dan tugas jika diperlukan oleh perusahaan. Begitu yang Sekar sampaikan sesaat mereka menerima kabar mengenai kelulusan mereka dalam proses penerimaan karyawan di perusahaan tersebut. Sekar sendiri saat ini menempati sebagai supervisor call center. Sedangkan Amel sebagai team leader.
      Jambu sangat bersyukur bisa berada satu ruangan call center dengan Sekar. Walapun ruangan tersebut cukup banyak dipenuhi olah petuga call center lainnya, tapi paling tidak Jambu bisa dengan leluasa memandang Sekar yang sudah dikaguminya saat pertama kali melihatnya.
      Setelah menjalani proses training dan pembekalan yang cukup banyak, Jambu, Reo dan Aan sudah siap untuk ditempatkan di tempat kerja masing-masing. Amel yang menjadi Team Leader mereka cukup sabar menangani ketiga pemuda ini. Apalagi Jambu yang memang tipikal lelaki jahil. Ada saja kelakuan yang membuat Amel, Reo dan Aan tertawa-tawa. Amel cukup senang karena katanya kelakuan Jambu bisa jadi sesuatu yang berbeda di call center. Katanya lagi selama ini di call center suasananya cenderung kaku. Ruangan yang sangat luas yang terletak di lantai dua itu memang  biasa ditempati oleh sedikitnya lima puluh  orang agen yang bertugas melayani pelanggan setiap harinya. Mereka ditempatkan masing-masing dalam satu cubical berbentuk kotakberukuran kurang kebih dua kali dua meter. Di sanalah mereka setiap harinya berinteraksi dengan pelanggan. Demkian juga dengan staf administrasi lainnya selain karyawan yang menangani pelanggan secara langsung. Walaupun pekerjaan mereka tidak seperti karyawan agen, tapi mereka tetap ditempatkan dalam cubical-cubical yang sama sama persis seperti para agen pelayanan tersebut.
      Namun tidak demikian dengan manager dan supervisor. Mereka punya tempat khusus sendiri yang bentuknya berbeda dengan para agen atau staf administrasi. Bagi para manager seperti Irni, mereka mempunyai ruangan khusus yang dikelilingi kaca. Ukurannya sekitar tiga kali tiga. Sedangkan supervisor seperti Sekar hanya diberikan meja terbuka dengan satu sekat antara meja yang satu dengan meja yang lainnya. Jika ditotal, jumlah karyawan yang datang setiap harinya bisa mencapai delapan puluh atau sembilan puluh orang. Namun karena mereka biasa bekerja di dalam cube maka seolah-seolah tidak ada kehidupan dalam ruangan tersebut. Inilah yang kemudian coba didobrak oleh Jambu dengan beragam idenya agar bisa membuat suasana ruangan itu bisa lebih dinamis dan lebih hidup.
      Dan memang ternyata keberadaan Jambu dan Reo dapat membuat suasana berbeda di call center. Kekompakan mereka berdua serta beragam candaan mereka saat jam istirahat ternyata membuat dampak yang cukup positif. Suasana akrab sekarang lebih terasa sejak kedatangan mereka berdua. Ini juga tidak lepas dari pengamatan Sekar. Dalam hati, Sekar memuji dua karyawan baru ini. Banyak hal baru yang tercipta sejak kedatangan mereka. Misalnya saja mereka mengusulkan adanya acara Fun Factor setiap hari Jumat untuk memberikan nuansa yang berbeda di dalam ruangan. Usulan mereka, walaupun kadang nyeleneh tapi mendapat antusias. Seperti Jumat ini, atas usulan Jambu, ditetapkan kalau semua karyawan yang bertugas hari itu menggunakan baju tim sepak bola kebanggannya. Ada yang menggunakan baju tim nasional Indonesia, Inggris, Belanda dan lain-lain. Ketidakformalan inilah yang tidak ada sebelum masuknya Jambu dan Reo.
      Adapun Aan, tidak bisa melakukan seperti itu karena di tempat kerjanya semua harus berpakaian formal sebagai identitas perusahaan. Setidaknya hal ini belum dicoba. Dan Jambu serta Reo terus mendesak agar hal serupa juga bisa diterapkan di walk-in. Sekar senang sekali melihat semangat mereka. Demikian juga dengan Irni, walaupun hal ini disembunyikan dalam reaksinya sehari-hari.

***

      “Lagi apa Mba Sekar?” Jambu coba menyapa Sekar yang sedang duduk di sebuah bangku kantin sambil ditemani beberapa buku yang cukup tebal.
      “Eh Mbu, ini lagi ngerjain tugas kuliah.” Sambut Sekar.
      “Lho masih kuliah juga Mba? Semester berapa? Ambil jurusan apa?”
      “Duh Mbu, kamu tuh ya kalau nanya gak bisa satu-satu apa? Bingung nih jawabnya.” Sambil tersenyum Sekar mencoba menutup bukunya.
      “Aku ini semester terakhir, lagi nyusun skripsi. Sama kaya kamu.” Senyum Sekar kembali terurai. Jambu terpana dan menimbulkan gejolak rasa yang berbeda di dadanya. Dia tidak menyangka kalau Sekar ini ternyata seumuran dengan dirinya. Tapi terlihat begitu dewasa. Mungkin karena tuntutan wibawa yang menjadikan dirinya begitu berbeda. Yang tidak bisa dilewatkan juga untuk diperhatikan adalah deretan gigi putih dan rapi yang dimiliki Sekar. Semakin menambah kesempurnaan kecantikan yang tidak akan pernah berhenti dia kagumi.
      “Hah, seriusan Mba, masih kuliah?”
      “Iya.. emang kamu fikir ini buku hutang apa? Hahaha…” Kali ini Sekar tertawa cukup lebar, namun tetap menjaga keanggunannya.
      “Aku ambil jurusan komunikasi, Itu sebabnya aku kerja di sini, karena sepertinya menghadapi pelanggan dengan beragam keinginan dan keluhan sejalan dengan ilmu yang aku pelajari.”
      “Oh beda dikit dong ya Mba. Kalau Mba Sekar ambil jurusan komunikasi, aku ambil jurusan miskomunikasi.”
      Tawa Sekar kali ini meledak. Dia terbahak mendengar celoteh Jambu. Jambu juga ikut tertawa.
      “Kamu itu lucu banget sih Mbu, hahaha…” Sekar masih terus tertawa.
      “Eh iya Mbu, karena kita seumuran, ngobrolnya pake loegue aja ya biar enak.”
      “Ah gak ah Mba, takut gak sopan sama senior.”
      “Ih gak papa lagi.”
      “Gak, aku gak mau. Aku maunya manggil Mba Sekar, pakai awalan mba. Terserah kalau Mba mau manggil aku apa. Pokoknya aku sudah nyaman manggil mba. Malah jadi klop dong, Mba dan Mbu, hahaha..” Jambu terus merocos sambil cengengesan. Sementara Sekar mendengarkan sambil terus tersenyum.
      “Iya deh, kalau gitu aku juga ikutan kaya kamu, gak pakai loegue, biar adil, kaya sila ke lima.” Sekar mulai mencoba melucu.
      “Wah kalau yang ke lima mah naik haji bila mampu. Eh itu mah rukun Islam ya, hahaha..”
      Sekar kembali tertawa. Jambu senang sekali melihatnya. Dia merasa sudah mulai bisa mendekati wanita yang dia kagumi. Demikian juga dengan Sekar. Tidak terasa ada sebersit senang yang dirasakan saat ngobrol dengan Jambu.

***

Bintang Senja (Part 3)

SPY

In your arms
I feel so safe and so secure
Every day is such a perfect day to spend
Alone with you

(Follow Me Follow You – Genesis – 1978)

      “Amel, kan Jambu, Reo dan Aan sudah tiga bulan di sini. Gimana menurut kamu?” Tanya Irni ke Amel pada suatu sesi briefing pagi.
      “Bagus Bu, mereka itu cukup bagus menghandle pelanggan. Semua SOP mereka jalankan dengan baik,” Amel mencoba menjelaskan.
      “Jadi layak diteruskan?”
      “Oh iya Bu, sangat layak. Khususnya untuk Jambu. Bahkan ni Bu, keberadaan Jambu itu bikin suasana call center kita sekarang berbeda. Kayanya lebih ceria gitu Bu,” Amel dengan semangat menjelaskan tentang sepak terjang ketiga anak baru itu, terlebih lagi untuk Jambu.
      “Baik, kalau gitu mereka bisa lanjut. Sambil terus dipantau dan dibimbing ya Mel,” pinta Irni.
      “Oh ya Sekar,” lanjut Irni.
      “Performance pelayanan kita bagaimana?”
      “Baik Mba, malah sangat baik kalau dilihat dari traffic service level.”
      “Oh syukurlah. Jangan lupa dashboard reportnya disiapkan segera ya, termasuk kinerja Jambu dan Reo.”
      “Sudah siap Mba, tinggal dikirim pagi ini melalui email.”
      “Ok, pertemuan pagi ini kita sudahi dulu ya, dan silahkan kembali bekerja.”
      Semua bergegas meninggalkan ruangan. Tapi tidak dengan Sekar. Dia masih terlihat berkutat dengan laptopnya. Amel yang juga hendak bergegas ditahannya.
      “Sebentar Mel, jangan pergi dulu.”
      Amel kembali duduk sambil menunggu apa yang diperintahkan Sekar untuknya.
      “Mel, selain masalah kerjaan, coba kamu cari tahu mengenai Jambu ya. Misalnya kebiasaannya, hobinya dan lain-lain.” Tanpa sedikit pun menoleh ke arah Amel, Sekar mencoba fokus pada kerjaannya sambil mencoba memberikan instruksi lain kepada Amel.
      “Wah kalau itu sih bisa aku jelasin sekarang Mba, gak perlu dicari tahu,” Amel merespon dengan senyuman. Dan Sekar seketika berhenti menatap laptopnya.
      “Oh ya? Gimana?” Sekar seperti penasaran. Fokusnya tidak lagi ke laptop yang ada di depannya. Kalau saja Amel bisa melihat dan memperhatikan, ada binar yang berbeda pada kedua bola mata Sekar yang bening.
      “Jadi Mba, Jambu itu sukanya emang pada hal-hal yang berbau non formal. Liat aja, setiap hari dia pakai sepatu kets. Terus dia suka sekali motif kotak-kotak. Makanya kalau dia pakai kemeja pasti motifnya kotak-kotak.”
      Sekar sebetulnya sudah tahu itu semua karena secara diam-diam, dia juga memperhatikan gerak-gerik Jambu setiap harinya. Celana jins atau celana gunung yang dipadu dengan dengan kaos yang dilapisi kemeja kotak digulung sampai sikut pasti sudah menjadi trademark Jambu yang begitu berbeda dengan karyawan lain pada umumnya. Ciri khas lainnya adalah rambutnya yang agak gondrong dan jaket jins kumal yang sering dia pakai. Tapi Sekar tetap sabar mendengar hal lainnya dari Amel.
      “Jambu itu ternyata pemain basket Mba di kampusnya. Dan juga pinter main gitar lho. Cuma yang nyebelin, lagu-lagunya Aku gak tahu. Kayanya lagu jadul semua deh Mba.” Amel setengah nyengir menceritakan bagian ini. Binar di mata Sekar bertambah banyak. Tidak terasa senyum ikut mengembang di kedua sudut bibirnya.
      “Oh ya satu lagi Mba. Jambu itu punya hobi naik gunung. Mba gak nyangka kan?” Amel sedikit menyudutkan Sekar. Tapi Sekar tetap tersenyum mendengarnya. Bagaimana tidak, dari tampilan yang diperlihatkan sehari-hari, sebetulnya orang sudah bisa melihat dan menilai kalau Jambu memang suka naik gunung. Amel saja yang kurang peka terhadap hal ini. Tapi Sekar tetap membiarkan Amel terus bercerita.
      “Tapi Mba.. ada tapinya nih.. Jangan sering dekat-dekat sama Jambu deh!”
      “Lho kenapa?” Sekar merubah posisi duduknya lebih tegak dan lebih mendekat ke Amel. Lagi-lagi rasa penasaran menghinggapi dirinya.
      “Jahilnya gak ketulungan Mba. Amppuunn..!” Amel menepuk jidatnya.
      “Jahil? Jahil gimana?” Sekar semakin penasaran. Sekarang tangan kanannya menopang dagunya.
      “Nanti Mba juga akan tahu. Makanya aku wanti-wanti ke Mba Sekar. Jangan sering dekat-dekat sama si Jambu.”
      Belum habis rasa penasaran Sekar, tiba-tiba pintu ruangan meeting terbuka.
      “Amel! Kenapa kamu masih di sini? Gak kerja kamu?” Irni masuk dengan suara kerasnya. Amel gelagapan. Demikian juga dengan Sekar.
      “Eh iya Bu Irni, ini baru mau ke cube,” jawab Amel sambil bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Sekar tanpa pamit sedikit pun.

***

      Ada yang berubah semenjak kedatangan Jambu di kantor ini. Itu terjadi pada Sekar. Entah kenapa seperti ada semacam energi tambahan untuk datang ke kantor setiap harinya. Seperti ada yang tidak ingin dia lewatkan. Rasa yang sama juga dirasakan Jambu. Baginya pekerjaan ini hanya untuk selingan sambil melakukan penyusunan skripsinya. Semua dia jalankan dengan santai tanpa ada target apa pun. Namun sekarang berbeda. Semenjak kali pertama melihat Sekar dan setelah beberapa bulan mencuri pandang, ada semangat lain dari tujuannya ke kantor. Betul kalau pekerjaan itu tetap menjadi nomor dua. Tapi yang prioritasnya bukan lagi menyelesaikan skripsi. Cita-cita luhurnya yang sekarang ini adalah bagaimana setiap hari dia bisa melihat seorang wanita anggun yang mulai mengusik mimpi dan lamunannya. Sayangnya tidak begitu banyak waktu untuk berbicara langsung dengan Sekar sebagaimana yang pernah dilakukannya di kantin beberapa waktu lalu. Kesibukan Sekar yang sering rapat dengan para manager menjadikan kesempatan ngobrol dengannya menjadi sedikit. Tapi itu tidak mengurangi antusias Jambu untuk mau datang ke kantor. Bahkan jika mendapat jatah libur di hari biasa pun, dia tetap datang ke kantor dengan alasan mau bertemu teman-teman. Tentu saja ini juga membuat Sekar senang, walau tidak dia perlihatkan secara terang-terangan. Ada rasa yang berbeda begitu tahu Jambu ada di kantor walaupun tidak bertugas. Hal ini juga tidak luput dari pengamatan Irni. Irni juga senang kalau Jambu berada di kantor. Hanya bedanya, Irni mengajak Jambu untuk bertugas log in call center dengan imbalan lembur. Terkadang Jambu menerima, terkadang juga menolak dengan halus. Tentu saja Irni tidak akan marah karena memang ini di luar jam tugasnya. Lagipula tidak ada kewajiban lembur bagi karyawan kecuali pada hari-hari yang telah ditetapkan seperti hari raya Idul fitri atau Natal. Harapan Jambu cuma satu. Bisa punya waktu ngobrol dengan Sekar.

***

      Hari ini Jambu sedang medapat jatah libur. Dan pastinya juga Amel karena mereka satu tim. Biasanya kalau ada Amel, Sekar pasti makan siang bareng Amel. Dan ini terjadi semenjak Jambu bergabung dengan timnya Amel. Biasanya Sekar selalu makan sendiri atau dengan teman-teman supervisor lainnya. Namun sekarang semuanya berubah. Sekar lebih memilih makan siang dengan Amel. Ada saja alasan yang disampaikan ke supervisor lain jika diajak makan siang bareng. Alasan klasiknya adalah ingin lebih dekat dengan para team leader yang menjadi tanggung jawabnya. Padahal sih tujuannya bukan itu. Sekar hanya ingin mencuri dengar mengenai sepak terjang Jambu. Sekar selalu mencoba menata pertanyaannya jika terkait dengan Jambu agar tidak terlalu terlihat ketertarikannya akan sosok jahil namun cukup tampan itu.
      Sekar memutuskan untuk makan di ruangan saja. Dia menitip makan siangnya ke salah satu team leadernya yang saat itu akan makan siang di kantin. Sekar memang membawahi empat team leader yang masing-masing beranggotakan lima agen. Dan mereka diatur liburnya agar pelayanan tetap ada di hari Sabtu dan Minggu. Sekar sendiri mempunyai jatah libur Sabtu dan Minggu. Tapi sering sekali dia datang di antara kedua hari libur itu hanya untuk memastikan keberadaan timnya secara langsung.
      “Maaf Mba Sekar,” seorang office boy bernama Edeng datang menghampiri dirinya dan membuyarkan konsentrasinya yang sedang membuat laporan mingguan.
      “Iya Kang Edeng, ada apa?” tanya Sekar dengan ramah.
      “Mau nagih uang mie goreng Mba,” lanjut Edeng dengan agak sungkan.
      “Hah? Mie goreng? Mie goreng apaan? Kan aku gak pernah pesan mie sama Kang Edeng,” sanggah Sekar sambil kebingungan.
      “Memang bukan Mba yang pesan. Tapi itu Den Jambu yang udah 4 kali makan mie goreng telur. Katanya nanti yang bayar Mba Sekar. Makanya saya kesini mau nagih.” Edeng menjelaskan perihal tagihannya. Memang Kang Edeng ini menyediakan sajian mie goreng atau rebus bagi karyawan yang malas untuk ke kantin, atau sekedar ingin mengunyah sesuatu di ruangan. Dan kebiasaan Kang Edeng adalah memanggil semua karyawan pria dengan sebutan Den.
      “Masya Allah Jambuuu…..” Sekar menggerutu. Tapi hatinya tetap senang. Seunggah senyuman menghiasi bibirnya. Entah kenapa dia selalu senang dijahili Jambu.
      “Jadi berapa semuanya Kang?”
      “Empat puluh ribu Mba.”
      Sekar segera meraih tas untuk mengambil dompet di dalamya. Satu lembar uang berwarna merah langsung berada di jari-jarinya yang lentik.
      “Ya sudah, ini uang seratus ribu. Aku sekalian deposit ke Kang Edeng ya. Buat jaga-jaga kalau Jambu mau makan mie lagi.” Sekar menyerahkan uangnya dengan ramah dan tetap penuh dengan senyuman.
      “Terima kasih Mba Sekar.” Edeng berlalu meninggalkan Sekar yang masih dihiasi senyum senang pada bibirnya. Dia jadi tidak semangat meneruskan pekerjaannya. Yang ada dalam hatinya sekarang adalah sebuah pertanyaan dan harapan. Jambu, kamu datang gak ke kantor hari ini?

***

Bintang Senja (Part 4)

Pahlawan Nasional

Love is all around you
Love is knockin’ outside your door
Waitin’ for you is this love made just for two
Keep an open heart and you’ll find love again, I know

(Love Song – Tesla – 1989)

      Sebentar lagi tanggal tujuh belas Agustus. Dan seperti kebiasaan masyarakat Indonesia di mana pun, setiap tempat dan lokasi pasti diberikan pernak-pernik merah putih sebagai tanda peyambutan hari Kemerdekaan itu. Termasuk di ruang call center saat ini. Tidak hanya ruangan, tapi cubicalpun tidak luput untuk mendapat sentuhan bernuansa merah putih. Ada yang cukup menancapkan bendera merah putih berbentuk mini. Ada juga yang meletakan bunga plastik berwarna merah putih. Pokoknya segala hiasan beraroma merah putih menutupi hampir semua sudut ruangan. Jambu pun tidak mau kalah. Dia menempelkan beberapa foto pahlawan nasional pada dinding cube nya.
      Hari kemerdekaan sudah semakin dekat. Tapi Jambu tidak melihat ada persiapan perlombaan di kantornya. Apa karena ini kantor ya? Jadi tidak ada lomba-lomba selayaknya di perumahan. Ah masa begini aja? Batinnya. Harus ada lomba nih biar seru. Jambu menyemangati dirinya sendiri. Dia mencoba menemui Irni yang saat itu sedang berada di ruangannya dan sedang berhadapan dengan laptopnya.
      “Permisi Mba Irni, maaf ganggu,” Jambu mencoba menyapa dengan ramah dan sopan. Irni hanya melirik untuk kemudian menatap kembali laptopnya. Sepertinya kedatangan Jambu tidak diharapkan Irni. Atau mungkin bukan di waktu yang tepat.
      “Hmm..” hanya suara itu yang Irni keluarkan dari mulutnya.
      “Boleh masuk Mba?”
      “Silahkan. Ada apa?”
      “Mba mau ngobrol sekalian usul mengenai tujuh belasan.”
      Irni diam sejenak. Berhenti menatap laptopnya dan sekarang gantian menatap Jambu.
      “Ada apa dengan tujuh belasan?”
      “Begini Mba… apa tidak ada lomba-lomba di kantor kita? Maksudnya biar ramai Mba,” Jambu mencoba menjual idenya.
      “Gak ada! Ini kan kantor. Semua orang pasti sibuk dengan kerjaan masing-masing. Apalagi tanggal tujuh belas kan hari biasa, bukan hari minggu. Jadi ya kita tetap kerja!” cukup ketus Irni menjawabnya.
      “Maksud saya begini Mba… Sa..”
      “Duh sudah deh, kamu mending kembali kerja. Atau kalau mau buat ide yang gak guna gitu, obrolin aja sama Sekar. Saya gak ada waktu bahas kaya gitu!” Irni memotong kalimat Jambu dengan suara yang meninggi. Entah dia memang marah atau bukan. Tapi yang pasti Irni memang terkenal sebagai atasan dan karyawan yang super jutek. Banyak agen takut dan memilih untuk tidak berinteraksi dengannya, kecuali untuk beberapa orang yang dekat dengan Irni. Tapi tidak dengan Jambu. Dia siap menghadapi Irni kapanpun, termasuk saat ini. Walau resikonya kena semprot seperti yang barusan terjadi.
      “Baik Mba kalau gitu. Terima kasih waktunya. Permisi,” izin Jambu sambi berlalu pergi. Dia tidak kecewa sama sekali. Malah senang bisa jadi punya waktu untuk ngobrol dengan Sekar. Dia pun langsung beranjak menghampiri Sekar. Dadanya berdebar.
      “Hai Mba Sekar. Aku ganggu boleh?” tanpa menunggu jawaban Jambu langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Sekar. Sekar masih tampak anggun di matanya. Apalagi kali ini pakaiannya cukup kasual. Sebuah jaket jins warna hitam membalut tubuhnya.
      “Eh Mbu, tumben. Ada apa?” Sekar mencoba menata dirinya agar terlihat normal. Padahal dirinya juga merasakan hal yang aneh. Ah wanita.. paling pintar kalau dalam hal menyembunyikan perasaan.
      “Ngobrol yuk Mba, pengen bahas masalah tujuh belasan nih.” Jambu langsung pada pokok persoalan.
      “Tujuh belasan? Di kantor ini?”
      “Iya Mba… masak di rumah Pak Lurah,” jawab Jambu seenaknya yang disambut Sekar dengan sebuah senyum lebar nan manis.
      “Oke, kalau nanti kamu kena bagian istirahat kita ngobrol ya. Sekarang mah balik login gih. Nanti dicari Amel lho.” Sekar sama sekali tidak mengurangi senyum dibibirnya. Dan Jambu jadi merasa enggan untuk beranjak dari kursi itu.
      “Siap bu cantik…” respon Jambu sambil mencoba menggoda Sekar.
      “Ah kamu tuh!” Kali ini Sekar tersipu. Dia ge-er Ketika dipanggil cantik oleh Jambu. Selama ini hanya Jambu laki-laki yang berani memanggilnya cantik. Dadanya mendesir. Sekar tidak sabar untuk menunggu jam istirahat timnya Amel agar dirinya bisa segera ngobrol dengan Jambu.

***

      “Jadi mau bikin ide apa lagi?” tanya Sekar sambil mengaduk jeruk hangatnya yang baru saja dia terima dari penjual di kantin.
      “Gini Mba, aku yakin kita bisa bikin sesuatu yang bisa meramaikan ruangan kita dalam rangka tujuh belasan. Gak usah yang besar-besar. Yang kecil-kecil aja dulu. Kenapa kita gak bikin lomba makan kerupuk di ruangan kita? Atau kita lomba kostum tujuh belasan antar tim? Kan bisa aja ada yang berdandan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Jendral Sudirman dan lain-lain,” penuh semangat Jambu menjabarkan ide-idenya. Tidak ada tujuan lain yang dia maksud kecuali membuat nuansa yang berbeda di ruangan kerja untuk menyambut hari kemerdekaan republik tercinta ini.
      “Kedengarannya mungkin klasik mba, tapi rasa nasionalisme kita tetap harus ada, jangan sampai luntur. Jangan sampai terkikis dengan alasan kerja!” masih dengan semangat Jambu melanjutkan idenya.
      Sekar masih diam. Ada hal yang difirkannya. Dia tahu betul karakter Irni yang agak sulit diminta izinnya jika menyangkut masalah kelonggaran kerja. Baginya, service level menjadi yang utama. Sementara Sekar pada dasarnya setuju dengan ide Jambu ini. Dia yakin kalau hal seperti akan disambut antusias teman-teman yang lain.
      “Aku gak yakin ya Mbu. Tapi gini aja. Aku coba angkat ide ini dalam rapat ya. Mudah-mudahan ide ini diterima. Syukur-syukur malah didukung dananya,” Sekar mencoba berupaya untuk tidak mematahkan ide Jambu. Walaupun ada sedikit keraguan untuk membawa ini ke para atasan dan rekan supervisor lainnya. Tapi dalam hatinya dia akan coba fight untuk menyampaikan ide ini.
      “Eh kamu gak makan Mbu?” Tanya Sekar. Jambu menggeleng. Lalu tersenyum.
      “Kamu aja gak makan Mba, cuma minum air jeruk doang. Masak aku makan sendiri,” kali ini Jambu nyengir kuda.
      “Lagian Mba, tanpa makan aja, selama bisa ngobrol sama Mba yang sibuk ini, aku udah senang banget lho, hahaha…” Jambu tertawa untuk menyembunyikan rasa malunya. Jelas dia malu karena apa yang dia ucapkan sebetulnya adalah gambaran hatinya yang sebenarnya.
      Sekar ikut tertawa. Hal ini seperti ini sebetulnya sudah usang bin kuno. Tapi entah kenapa dia tetap senang mendengarnya karena ini keluar dari mulut Jambu.
      “Huuhh.. gombaaalll…” Sekar mencoba merespon sambil juga berupaya menyembunyikan rona di wajahnya.
      “Sudah sana gih pesan makanan. Aku ikut aja apa yang kamu pesan,” pinta Sekar ke Jambu.
      “Gak Mba, terima kasih kasih. Aku harus kembali ke cube, soalnya belum sholat dan setelah itu balik log in lagi. Nanti dicariin Amel,” tolak Jambu dengan rasa berat. Bagaimana tidak berat jika harus melewatkan kesempatan ngobrol berdua dengan Sekar. Tapi dia punya tanggung jawab yang harus dia penuhi. Dan itu harus dia lakukan dan selesaikan.
      Seketika Sekar kehilangan rasa lapar dan nafsu makannya.

***

Bintang Senja (Part 5)

Pizza dan Donat

I keep hopin’ one day I’ll awaken
And somehow she’ll be lying by my side
And as I wonder if the dawn is really breakin’
She touches me and suddenly I’m alive

(In My Dreams – REO Speedwagon – 1987)

      Aneka lomba yang diusulkan Jambu pada akhirnya terlaksana. Beberapa lomba khas tujuh belasan seperti makan kerupuk, gigt kelereng, memasukkan pensil dalam botol, juga lomba kostum pahlawan nasional sukses mendapat dukungan para manager di lantai dua. Tapi tidak dengan Irni. Dia tetap bersikukuh kalau semua kegiatan ini hanya buang-buang waktu dan biaya saja tanpa ada makna yang jelas. Dan bahkan baginya lagi, ini dapat merugikan perusahaan karena pelayanan kepada pelanggan jadi terganggu. Akan tetapi kemeriahan tetap berjalan dengan baik. Hampir semua karyawan yang masuk saat tanggal merah itu antusias mengikuti lomba-lomba yang bisa diikuti secara individu maupun berkelompok. Yang kebetulan tidak mengikuti lomba tentu saja bertugas seperti biasa. Dan nanti akan bergantian begitu nama atau kelompok mereka dipanggil untuk berlomba. Begitu seterusnya sehingga pengaturan pelayanan kepada pelanggan tetap ada dan tidak sampai kosong.
      Suasana juga semakin meriah karena ternyata tanpa diduga-duga, manajemen dan beberapa jajaran direksi justru hadir melihat kemeriahan yang sebelumnya belum pernah ada. Bahkan mereka memberikan apresiasi berupa pemberian makanan yang cukup mewah untuk para karyawan. Ada beberapa kotak pizza dan donat, ada ayam goreng KFC, ada beragam kue khas jajanan pasar, juga beraneka minuman botol dan kotak. Bukan main senangnya semua karyawan yang ada saat itu. Beberapa dari mereka yang berpakaian pahlawan nasional meminta untuk berfoto bareng dengan direksi. Para direksi pun dengan senang memenuhi permintaan mereka. Dan sebelum meninggalkan ruang call center ini, semua karyawan dan direksi berfoto bersama. Kelak foto ini nanti akan dipajang juga di ruang utama para direksi.
      Bukan main senangnya Jambu. Dia tidak peduli siapa yang menyuarakan acara ini kepada para direksi. Baginya ini sebuah kebahagiaan tersendiri karena idenya bisa diterima, mendapat antusias bahkan mendapat apresiasi dari perusahaan. Terkecuali dengan Irni dan kelompoknya, para karyawan, manager dan supervisor mengucapkan terima kasih dan salut atas ide tujuh belasan yang baru pertama kali ada di ruangan ini. Ini sejarah kalau kata mereka. Dan mereka berharap akan ada acara seperti ini lagi di waktu yang lain. Akhirnya semua rangkaian acara selesai dan ditutup dengan acara makan bersama yang didahului oleh pembacaan doa dari Pak Usman. Semua menikmati sajian makanan dari yang sudah disediakan oleh direksi. Beberapa dari karyawan makan sambil bercakap-cakap di ruang isitrahat. Jambu memilih makan di meja kerja Sekar agar bisa makan bersama dengan wanita manis itu sambil ngobrol.
      “Sukses ya acara kamu Mbu, hebat!” Sekar membuka percapakan makan siang itu. Namun tidak ada respon yang diberikan Jambu atas ucapan selamat yang disampaikan oleh Sekar. Seperti biasa Jambu sedikit tidak peduli atas apa yang sudah dilakukannya. Jambu hanya memperhatikan menu yang ada di piring Sekar. Sedikit sekali, jauh berbeda dengan apa yang ada di piringnya. Tiba-tiba Jambu merasa malu. Ingin rasanya dia balik lagi ke tempat sajian makan untuk mengurangi nasi dan lauk yang sudah terlanjur menggunung di hadapan mereka berdua.
      “Hey, malah bengong!” Sekar mengagetkannya. Tanpa menunggu respon Jambu, sesuap kecil nasi dan lauk yang tertata baik di atas sendok sukses masuk ke mulutnya yang mungil.
      “Malu aku mba!” sahut Jambu sambil juga ikut memasukkan makanan kedalam mulutnya.
      “Malu kenapa?” tanya Sekar yang walaupun makanan sedang berada di mulutnya tapi tetap bisa berbicara dengan baik dan jelas.
      “Pertama, terlalu banyak sanjungan ke aku. Padahal ini kan kerjaan banyak orang. Ada Reo juga, ada Kang Edeng juga. Terus malu yang kedua, koq makan aku banyak banget ya? Gak seperti kamu, hahaha….” Kali ini Jambu tertawa tapi lalu menutup mulutnya dengan salah satu tangannya agar makananya tidak lompat keluar. Bisa malu yang ketiga kalinya nanti.
      “Gak lah, kita semua memang harus terima kasih ke kamu. Kalau gak ada ide dari kamu ini kan, acara seperti ini belum tentu akan ada lho!” Sekar mencoba menangkis rasa malu jambu dengan kalimat lembutnya. Ini yang selalu Jambu suka karena berbeda dengan dirinya yang sering tidak terkontrol ketika berbicara.
      “Tapi aku juga mau terima kasih lho ke kamu, Mba.”
Sekar sejenak menahan laju sendok yang sudah berada tepat di depan mulutnya yang siap untuk dilahap kembali.
      “Terima kasih karena berkat Mba para direksi bisa datang ke ruangan kita ini,” lanjut Jambu sambil menggigit telur yang merupakan lauk kesukaannya.
      “Heh? Kok aku? Bukan aku!”
      “Sudah deh Mba, jangan bohong, nanti kutilan lho di pantat,” timpal Jambu seenaknya.
      “Kamu tahu darimana?” Sekar sedikit kaget dan penasaran.
      “Apanya? Kutilnya?”
      “Ih jorok! Bukan, itu lho tahu darimana kalau aku yang kasih tahu ini ke beberapa direksi?”
      “Hehehe… jangan panggil aku Jambu kalau yang beginian aja aku gak tahu,” senyum kemenangan Jambu tampak terlihat nakal. Sesuap sendok besar makanan langsung dilahapnya sambil tidak berhenti senyum ke arah Sekar.
      “Ih nyebelin!” Sekar sedikit menggerutu karena pertanyaan dan rasa penasarannya tidak dijawab Jambu.
      “Eh kamu mau minum apa Mbu? Biar aku ambilin sekalian,” tanya Sekar ke Jambu sambil dirinya beranjak berdiri menuju tempat tersajinya beberapa minuman.
      “Terserah Mba, samain aja biar kita keliatan mesra” Jambu menjawab seenaknya sambil terus memberikan senyum nakal ke arah Sekar. Sekar langsung pergi tanpa memperlihatkan ekspresi apa-apa.

***

Bintang Senja (Part 6)

Tiga Dara

And I get sick when I’m around
I can’t stand to be around
 I hate everything about you!

(Everything About You – Ugly Kid Joe – 1992)

      Keberhasilan Jambu membuat acara tujuh belasan yang terbilang sukses ternyata tidak membuat semua orang senang. Khususnya Irni, Yuni dan Herni. Tiga sekawan inilah yang seperti terbakar ubun-ubunnya karena merasa semua orang sekarang menjadi perhatian pada Jambu. Bagi mereka bertiga, harus mereka terus yang menjadi perhatian. Tidak boleh orang lain. Namun sejak kedatangan Jambu semua berubah. Yuni yang juga merupakan seorang team leader dan Herni yang adalah seorang agen di bawahnya Yuni, sering diangkat-angkat oleh Irni untuk lebih dijual namanya sebagai karyawan terbaik di call center. Ini tidak lepas dari bagaimana Yuni dan Herni bisa mengambil hatinya Irni dan dan selalu menyanjung dirinya di hadapan orang lain maupun diri Irni sendiri. Mereka saling menyanjung satu sama lain dan juga saling melindungi satu sama lain ketika ada yang mencoba memprotes atau mengkritik mereka bertiga. Bagi Irni, hanya Yuni dan Herni yang terbaik. Demikian juga sebaliknya. Kekompakan inilah yang membuat pertemanan mereka semakin solid, walau secara usia Irni jauh berada di atas Yuni dan Herni.
      Dan sekarang Jambu sudah menjadi musuh mereka walaupun hal ini tidak secara terang-terangan mereka ikrarkan. Irni mulai mencari-cari kesalahan Jambu walaupun selalu dapat dipatahkan Amel dan Sekar dengan memberikan laporan kinerja kerjanya. Yang selalu menjadi alasannya adalah seringnya Jambu berada di luar jam kerja untuk keperluan yang tidak terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya. Tapi Amel dan Sekar dapat memberikan jawaban bahwa apa yang dikerjakan oleh Jambu masih terkait dengan pekerjaan karena diminta oleh divisi, group maupun manajemen untuk mengerjakan suatu proyek. Adakalanya proyek itu terkait dengan tugasnya di pekerjaan, namun adakalanya juga tidak terkait sama sekali dengan kapasitasnya di pekerjaan saat ini. Namun sekali lagi ini bukan atas kehendak dirinya melainkan atas permintaan beberapa pihak.
      Kali ini Jambu mendapat tugas dari Group Call Center untuk membentuk tim basket guna mengikuti turnamen antar divisi yang diadakan oleh perusahaan. Tugas Jambu cukup ringan karena ternyata ada beberapa karyawan yang sudah terbiasa main basket sejak masih sekolah. Ada sepuluh orang yang berhasil dia kumpulkan termsuk Reo. Walaupun kurang piawai bermain basket, tapi dengan tingginya yang mencapai hampir dua meter, Jambu yakin Reo akan punya andil besar di tim ini nantinya.
      “Mba Irni, sudah tahu kalau mau ada turnamen basket di perusahaan kita?” tanya Yuni ketika mereka sedang makan siang bersama. Ada Herni juga di sana.
      “Belum. Aku mah mana tahu yang kaya gituan kalau bukan karena kalian!”
      “Ih Mba, kudet nih,” ceplos Herni.
      “Apa kamu bilang?” Irni sewot mendapat respon seperti itu dari Herni.
      “Eh maaf mba, jangan marah, bukan itu maksud aku,” Herni sedikit gugup menanggapi Irni yang memang punya karakter pemarah itu.
      “Begini Mba Irni, maksud Herni itu, Mba Irni kan super sibuk, jadi mungkin jadi belum dengar info tentang turnamen ini.” Amel mencoba membela Herni sambil sedikit menyanjung Irni.
      “Terus hubungannya dengan kita apa?” Irni mulai melunak.
      “Jadi Mba… yang dipilih oleh group kita untuk menjadi kapten tim basket itu ya si Jambu,” Amel kembali menjelaskan.
      “Hah? Dia lagi? Gak ada orang lain apa selain Jambu? Irwan kek, Arif kek. Kalau perlu si Edeng, asal bukan si Jambu!” Irni kembali naik emosinya.  Dia memang semakin hari semakin tidak suka dengan yang namanya Jambu.
      “Iya Mba, kami juga heran, kenapa harus dia sih?” timpal Herni semakin membakar emosi Irni.
      “Pasti nanti dia gak login lagi deh, terus kita disuruh gantiin sementara waktu. Duh enak banget sih dia,” kali ini Herni yang bersungut dan menunjukkan ketidaksukaannya.
      “Sudah, kalian tenang dulu ya, biar nanti aku coba gagalin keikutsertaan kita di turnamen itu. Bikin berantakan aja. Gak ada gunanya. Gak ada hubungannya juga dengan kerjaan!” Irni mencoba menenangkan dua konconya itu. Dirinya langsung mengatur strategi apa yang bisa dilakukan untuk menggagalkan Jambu dan timnya ikut turnamen basket. Kalaupun harus ikut, dia akan berupaya agar Jambu tidak masuk dalam tim.

***

      Pertemuan dalam rangka pembahasan tim basket itu berjalan cukup alot. Irni masih tetap dengan pendiriannya agar tidak perlu mengirimkan perwakilan tim basket dalam turnamen itu. Sementara yang lain tidak keberatan karena menyangkut nama baik dari Group Call Center.
      “Nama baik apanya? Memang kalau kita tidak ikut turnamen basket, lantas nama call center jadi jelek?” Tanya Irni ke pada para manager lain yang hadir dalam pertemuan itu. Beberapa perwakilan supervisor juga hadir, salah satunya Sekar. Namun para supervisor ini lebih banyak diam dan menjadi pendengar dari debat yang dilakukan pagi hari itu.
      “Jelas dong nama baik call center jadi jelek. Semua group yang ada di perusahaan ini mengirimkan perwakilan tim basketnya. Bahkan para kurir kartu pun juga ikut. Terus kita doang yang gak. Lha nanti manajemen akan bilang apa?” Pak Usman yang merupakan manager senior tidak kalah kerasnya merespon pertanyaan Irni. Baginya alasan yang disampaikan oleh Irni tetap tidak bisa masuk nalarnya.
      “Lagi pula kita dapat undangan resminya lho dari manajemen. Pak Dino sebagai Group Head juga sudah tahu dan setuju. Kurang apa lagi?” kali ini Pak Usman yang bertanya. Dan masih dengan suara tingginya.
      “Baik Pak Usman, kalau memang kita tetap harus mengirimkan perwakilan, ya kita kirim. Tapi kalau bisa jangan Jambu lagi!” Irni sedikit melunak walau dalam hatinya masih tidak terima. Baginya apa yang dia bicarakan harus benar dan harus diikuti oleh orang lain. Egois.
      “Ada apa dengan Jambu?” tanya Pak Usman.
      “Pak, Jambu itu sering meninggalkan pekerjaannya.”
      “Tapi kan dia meninggalkan pekerjaannya karena tugas dari kita juga, bukan maunya dia!”
      “Oleh sebab itu Pak, kasih kesempatan yang lain, jangan dia lagi. Toh saya yakin masih banyak yang lain yang bisa jadi kapten di tim itu nanti.”
      “Boleh saja Bu Irni, kami juga tidak masalah. Tapi Jambu yang sudah mengumpulkan tim itu. Dan bahkan saya sudah dengar kalau mereka melakukan latihan mandiri setelah jam kerja selesai.”
      “Ah itu kan salah Jambu sendiri, kenapa sok-sokan jadi pelatih.”
      “Sudah-sudah… ini gak akan pernah selesai. Masih banyak yang harus kita kerjakan,” tiba-tiba Thiara memotong perdebatan Irni dan Pak Usman.
      “Begini saja, kita ambil jalan tengahnya ya. Dan itu sebetulnya sudah disampaikan oleh Pak Usman dan Irni. Jadi kita tetap kirim tim tapi Jambu tidak terlibat di dalamnya. Biarkan dia jadi kapten yang tidak bermain. Dia cukup membantu latihan saja. Dan karena turnamennya hari kerja, Jambu bisa bertugas seperti biasa. Peran kapten tim bisa dilimpahkan ke yang lain.” Thiara mencoba menengahi dan membuat solusi. Harapannya agar ini bisa cepat diputuskan.
      “Nah gitu dong, kan rapat ini bisa jadi cepat selesai.” Irni merasa sudah seperti jadi pemenang karena tujuannya menyingkirkan Jambu dari tim basket tercapai.
      “Baik, kalau gak ada rapat lagi, saya mau kembali ke ruangan.” Dengan sombong dan angkuhnya Irni bergegas meninggalkan ruangan walaupun rapat belum ditutup. Pak Usman menoleh ke arah Thiara sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Sekar hanya mengambil nafas panjang sambil fikirannya melayang ke sosok Jambu yang mungkin akan kecewa mendengar berita ini nanti.

***

      “Hahaha… yang gak lah Mba, aku gak kecewa. Aku kan udah biasa ikut event basket. Jadi mungkin bosen juga.” Jambu merespon dengan santai berita yang disampaikan Sekar mengenai ketidak ikut sertaannya dalam turnamen basket ketika mereka sedang istirahat siang. Sekar semakin mengagumi sosoknya. Di matanya Jambu merupakan lelaki yang humble dan tidak tinggi hati. Dia lebih mengutamakan kebersamaan daripada kebanggaan dirinya sendiri.
      “Tenang Mba, aku akan tetap ikut latihan kalau waktunya tidak bentrok dengan jadwal login,” dia mencoba meyakinkan Sekar akan komitmennya yang tidak akan pernah luntur untuk memberikan kebanggan bagi call center.
      “Janji ya tetap latihan bareng mereka. Kasian Reo juga. Dia jadi tidak semangat begitu tahu kamu gak ada dalam tim,” pinta Sekar dengan halus.
      “Mba tahu kan, kalau sudah Mba Sekar yang minta, aku gak akan pernah nolak,” jawab Jambu tidak kalah halusnya. Rasanya dia ingin menggenggam tangan Sekar untuk lebih meyakinkan pernyataannya kalau apa pun yang Sekar minta, dia akan berusaha menurutinya. Tapi dia tidak berani melakukan itu karena khawatir Sekar akan marah. Sementara Sekar juga mempunyai keinginan yang sama untuk bisa menggenggam tangan Jambu. Dia ingin Jambu tahu kalau dirinya peduli dan akan siap berbagi cerita kapanpun Jambu mau.
      “Jambu……! “ Tiba-tiba datang Amel sambil sedikit berteriak.
      “Loe apain laptop gue? Ngaku!” sambil jari-jarinya mencengkram lengan Jambu.
      “Apaan sih Mel? Datang-datang sewot. Lagi halangan ya?” Jambu mencoba meronta tapi Amel malah mencengkram lebih kuat. Bahkan kali ini dengan kedua tangannya.
      “Iya Mel, ada apaan sih? Malu tuh diliatin banyak orang!” Sekar mencoba melerai sambil senyum-senyum melihat kelakuan dua timnya ini.
      “Ini nih Mba, siapa lagi orangnya kalau bukan si jahil ini. Masa tiba-tiba Aan nyamperin aku, katanya serius aku nembak Aan?” Amel mencoba menjelaskan kesewotannya ke Sekar.
      “Lha aku jadi bingung Mba, maksudnya si Aan apa? Aku tanya dong ‘maksud kamu apa An?’ Terus kata Aan katanya aku suka dan naksir Aan sejak pertama kali ketemu. Dan juga katanya aku tanya ke Aan apa mau jadi pacar aku? Wah aku bingung dibilang begitu. Ya aku sanggah aja Mba. Aku bilang aku gak suka sama Aan. Terus Aan diam dan langsung pergi,” Amel masih terus menceritakan kejadian yang bikin dia sewot.
      “Aku jadi bingung, dan juga malu Mba soalnya Aan ngomong gitu barusan di ruang istirahat dan banyak yang dengar juga. Aku gak pernah nembak cowok mba, apalagi si Aan. Terus koq bisa-bisanya dia bilang aku nembak dia dan minta dia jadi pacar aku!” Amel masih saja terus bercerita tanpa sedikit pun melonggarkan cengkeramannya ke Jambu. Sementara Jambu mencoba menahan tawa sambil tangan kirinya diam-diam mencoba melepaskan tangan Amel.
      “Karena bingung dan malu aku terus aku balik aja ke cube sambil liat-liat email. Eh di situ aku liat ada email reply dari Aan. Dalam email itu mba, ada tulisan ‘kamu serius Mel?’ Nah aku curiga mba. Aku cek aja sent email. Eh benar mba, ada email ke Aan yang isinya kalau aku suka dan sayang sama Aan dan tanya apa Aan mau jadi pacar aku? Ih kesel gak sih mba?” Amel masih saja kesal dan sewot.
      “Ini siapa lagi yang bikin kelakukan kaya gini kalau bukan si Jambu, Mba!”
Sekar malah tertawa-tawa. Hampir saja dia menangis karena tidak berhenti menahan tawa. Amel semakin sewot karena tidak menyangka Sekar justru akan menertawakan ceritanya. Dan seketika Jambu berhasil melepaskan cengkraman tangan Amel lalu lari entah kemana. Amel kaget dan lalu mengejarnya sambil terus meneriakkan nama Jambu. Sementara Sekar masih tidak bisa menahan diri untuk terus tertawa-tawa mendengar cerita Amel. Ya ampun Jambu… koq gak ilang-ilang sih jahilnya? Wah bahaya nih, laptop harus tetap dalam keadaan terkunci, Sekar menggumam dalam hati tanpa mengurangi riang tawanya.

***